Minggu, 23 Januari 2011

teras abdi kedah kumaha?*

Pernah merasa bingung harus berbuat apa? Begini salah, begitu salah, apa yang dilakukan atau diucapkan selalu dianggap salah. Pernah begitu kah? Aku pernah… haha (curcol).

Prolog
Dalam studi psikologi perkembangan, ada suatu fase perkembangan pada anak sekitar usia 3 tahunm yaitu fase negativistik. Hal itu dialami oleh hampir semua anak. Fase negativistic misalnya ketika ibunya jauh, si anak nangis gak mau ditinggalkan, tapi ketika ibunya dekat-dekat si anak juga ngamuk dan mukul-mukul ibunya. Contoh lain ketika memakai baju, dibantuin gak mau, gak dibantuin malah merengek. Yaa namanya juga anak-anak.. :D

Senada juga dengan cerita seorang anak dan ayahnya dengan seekor keledai, saat mereka menuntun keledainya orang-orang disitu mengolok-oloknya “kenapa gak di naikin aja tu keledai”, saat anaknya menaiki keledainya orang-orang kembali berkomentar “ keterlaluan, ayahnya dibiarkan jalan sedang dia menaiki keledai”, lalu giliran ayahnya yang naik ada komentar juga “apa ayahnya gak kasian ke anaknya, dia enak-enakan naik keledai anaknya dibiarkan jalan kaki”, lalu mereka menaiki keledainya “tega sekali mereka, keledai yang malang itu dinaiki oleh berdua”. Akhirnya mereka memanggul keledainya, “bodoh!”. **

Begini salah begitu salah
Mungkin kita pernah “terjebak” dalam hal-hal seperti contoh diatas. Saat melakukan A, di komentarin, lalu pindah ke B di kritik, melakukan C di salahin. Kalo diam? Lebih salah lagi. Haduu haduuu… bunuh aja gue!!
Kadang ada, karena ada suatu hal yang tak disukai sama seseorang, jadi mengeneralisir perilaku “gak suka”nya itu disemua hal terhadap orang tersebut. Maunya oposisi terus, maunya bertentangan sama dia, walaupun pendapatnya sama tapi kita itu BEDA, entah itu bahasanya yang dibedain, entah itu tidak mau mengakui ide orang yang tidak disukai, tak mau mengakui kehebatannya, meremehkan prestasinya, dll. Apalagi jika rasa tidak sukanya itu tanpa alasan yang jelas, wah.. kacau!

Saat orang yang tidak disukai mengajak berdamai, baik secara eksplisit maupun implisit, tapi tetap saja dia tak mau melakukannya. Saat orang itu menanyakan ia harus bagaimana agar dia mau “menerima”nya, dia tetap ogah. Kayaknya si orang itu jadi bertanya, teras abdi kedah kumaha?

Mari kita merefleksikan diri, apa mungkin kita pun seperti itu? Jangan-jangan tendensi ketidaksukaan kita pada seseorang membuat kita BERBUAT TIDAK ADIL pada orang itu. Padahal orang itu tak melakukan kesalahan apa-apa. Saat kita anggap dia tak memberikan kontribusi, tak sesuai dengan bayangan ideal kita, tidak berperilaku menyenangkan, BISA JADI sebenarnya dia sudah berusaha.

Jangan sampai rasa tidak suka pada suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil.
Oke, kalau memang dia melakukan sesuatu yang kita anggap salah (terutama kesalahan pada diri kita) dan kita tidak mau memaafkan atas kesalahan itu, sekali lagi, mengapa harus berbuat tidak adil? Kan jadi rugi di kita, haha. Dia yang salah, kita yang gak adi. Bener-bener rugi, iya kan? Slow down ajah lah, gak cape gitu jadi “oposisi” terus. Apalagi jika sampai memutuskan tali silaturahim, tidak mau menyapa, bersikap dingin, tidak mau bertemu, atau sekalinya “silaturahim” cuma mau kripik..eh kritik atau nyindir aja! waaahh hak saudaranya jadi tidak terpenuhi kan.. ckck..

Epilog
Kita bukan anak-anak lagi yang perilakunya bisa dimaklumi oleh orang lain. Tak ada fase perkembangan negativistik yang lumrah pada orang dewasa. Kritik sana sini, komentar ini itu ya boleh saja, asalkan ada bukti ada fakta dan tidak berprinsip “pokoknya ….. !”. Jangan sampai persaudaraan ataupun ukhuwah yang telah dibangun ternodai dengan dzon/prasangka yang tak baik. Mari sama-sama berhijrah ke diri yang lebih baik lagi..

*Lalu, saya harus bagaimana?
**cerita ini didapat waktu SMA kelas XII

Cianjur, 23 Januari 2011 – 00:06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar