Senin, 29 November 2010

Sebuah Cerita




Kuliah Metodologi Penelitian II hari jumat kemarin membahas materi case study. Dalam perkuliahan itu, dosennya menceritakan sebuah kasus yang katanya bisa dijadikan penelitian dengan metode case study. Terlepas dari bisa atau tidaknya dijadikan penelitian, fokus ketertarikanku justru pada isi ceritanya..

Cerita ini mengenai kehidupan seorang laki-laki yang sudah menikah dan sudah mempunyai anak. Saat lelaki tersebut berumur 38 tahun, istrinya mengalami sakit yang sangat parah hingga tak bisa berbuat apa-apa. Semuanya harus dibantu, untuk makan, mandi, termasuk buang air. Tentu saja istrinya tak bisa lagi melayani kebutuhan suami, khususnya kebutuhan lahiriah. Sakit itu tak kunjung sembuh, hingga suatu saat istrinya menyuruh dia untuk menikah lagi. Secara psikologis tentu istri akan merasa bersalah saat dia tak mampu berbuat apa-apa untuk suaminya, tak bisa lagi menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Begitupun dengan anak-anaknya, merekapun mendukung agar ayahnya menikah lagi, mereka ridho jika ayahnya mencari pengganti ibunya. Kata orang-orang, umur 40an itu merupakan puber ke-2, saat istri tak lagi bisa melayani dan memberi ridho suami menikah lagi, mungkin ini menjadi sebuah pilihan yang berpeluang besar untuk diambil oleh sang suami. Tapi ternyata suami menolak dengan tegas,bahwa dia tidak akan menikah lagi! Lelaki itupun melarang anak-anaknya untuk mengurus ibunya, biar dia saja yang mengurusnya sendiri. Saat ini lelaki tersebut berumur sekitar 50 tahun dan masih merawat istrinya. Kemudian dia ditanya mengapa masih bertahan dalam kondisi seperti itu? dia menjawab “saya menikahi istri saya bukan karena nafsu, saya menikahi dia dengan niat yang tulus, biarlah Tuhan yang mengetahui semuanya”

Subhanallah..

Rabithah


Pertemuan minggu ini begitu menyentuh, terutama saat-saat akhir pertemuan yaitu saat dibacakannya doa rabithah oleh salah seorang diantara kami dan yang lain meng-amin-i.. begitu terasa getaran dalam hati, ada rasa haru.. terlintas wajah-wajah saudara-saudara yang berjuang di jalan Allah, saudara seiman yang telah Allah gerakkan hatinya untuk senantiasa menyeru kepada-Nya..

Sesungguhnya Engkau tahu,

bahwa hati ini tlah berpadu,

berhimpun dalam naungan cinta-Mu,

bertemu dalam ketaatan,

bersatu dalam perjuangan,

menegakkan syari’at dalam kehidupan..

kuatkanlah ikatannya,

kekalkanlah cintanya,

tunjukilah jalan-jalannya,

terangilah dengan cahaya-Mu yang tiada pernah padam,

Ya.. Robbi bimbinglah kami

lapangkanlah dada kami dengan karunia iman

dan indahnya tawakal pada-Mu

hidupkan dengan ma’rifat-Mu

matikan dalam syahid dijalan-Mu

Engkaulah Pelindung dan Pembela…


Aamiin…

Sabtu, 27 November 2010

Bersyukur masih bisa sujud..


Teringat kata murobbiku ketika SMA dulu, saat sujud terakhir jalanilah sambil berdoa kepada Allah:
  • Memohon untuk diampuni dosa kita
  • Memohon untuk di beri kesabaran
  • Memohon agar selalu ridho atas keputusan Allah terhadap diri

Katanya, nikmati sujud terakhir seakan-akan itu menjadi sujud terakhir kita

Jangan biarkan sujud itu lepas

Jangan biarkan sujud itu berlalu begitu saja

Selami

Resapi

Dan rasakan!

Alhamdulillah, Allah Menciptakan Lupa


Pada hari selasa tanggal 16 November 2010 (satu hari sebelum lebaran qurban), aku masih mengikuti kuliah Aplikasi Psikologi Sosial (APS). Hari itu, kami membahas mengenai psikologi pemaafan. Tidak seperti kuliah APS biasanya yang selalu full membahas materi, kali ini setelah sedikit materi kami disuruh mengingat kesalahan yang paling besar kepada:

1. Pada orang yang tidak dikenal

2. Pada orang yang dikenal (teman biasa)

3. Pada teman dekat/ teman hidup

4. Pada saudara/keluarga

5. Pada orangtua

Terus terang saat itu, aku agak kesulitan memikirkan KESALAHAN YANG MANA yang sekiranya paling besar, mungkin saking banyak kesalahan yang telah aku lakukan. mikir.. mikir.. mikir.. lalu coba dituangkan dalam sebuah tulisan singkat. Setelah itu dosennya menceritakan sebuah kesalahan yang telah beliau perbuat saat masa kuliah dulu. Kesalahan yang sepertinya “kecil” saat itu, tapi setelah mengetahui dampaknya kemudian,beliau benar-benar merasa sangat bersalah, sangat terpukul dan yang paling menyesakkan adalah ketidakmampuan untuk meminta maaf dan menebus kesalahannya, karena orang yang beliau anggap sudah didzolimi ternyata sudah almarhum. Sungguh menyesakkan hati. Lalu beberapa mahasiswa menceritakan kesalahan yang mereka buat, walaupun pembawaannya jadi agak-agak lucu..


Sesi berikutnya kami diminta untuk mengingat KESALAHAN YANG ORANG LAIN LAKUKAN PADA KITA. Dan menurutku ini lebih susah dari tugas yang pertama. Mikir.. mikir.. mikir lagi.. waaahh ternyata susah! Heu.. kalo ini aku pikir bukan karena terlalu banyak kesalahan orang lain pada kita, tapi lebih tepatnya aku yang tak terlalu memperdulikan semua itu. Namun setelah berusaha, sedikit demi sedikit bayangan kesalahan orang-orang padaku terlintas dalam benakku. Dan entah proses seperti apa yang terjadi dalam tubuhku, hingga ada sakit hati yang aku rasakan.


Lalu suatu hari aku dan beberapa temanku terlibat dalam pembicaraan yang sangat penting. Diantara orang yang ada saat itu, kami terpecah pada suatu sikap yang berbeda. Pembelaan, argumen, rasionalisasi, depend, menyalahkan orang lain, membeo, intonasi bicara yang tinggi, tak mau kalah, keras kepala, apatis, dan banyak yang lainnya hadir dalam satu pembicaraan itu. bagiku itu terlalu menyakitkan. Banyak sayatan-sayatan yang aku rasakan, dan mungkin mereka pun merasakan hal yang sama.


Saat aku merasakan sakit tersebut, saat itu pula aku bersyukur bahwa Allah menciptakan LUPA. Ya aku bersyukur atas LUPA yang dialami manusia. Mengapa? Karena dengan lupa, beban yang begitu berat tak selalu menghantui dalam setiap detik kehidupanku. Aku tak bisa membayangkan, apa jadinya jika hati terasa begitu sesak, merasa bersalah, sakit hati karena menyakiti, dan rasa sesal yang begitu dalam karena kesalahan yang aku buat pada orang lain, terus hadir dalam detik-detik kehidupanku. Pasti akan sangat melelahkan, walaupun untuk yang satu ini tentu saja kita “lupakan” setelah meminta maaf pada orang yang terdzolimi dan bertaubat pada Allah.


Begitupun dengan “kesalahan” yang orang lain lakukan padaku. Aku fikir, aku tak mungkin mampu saat harus dibayangi rasa sakit hati setiap saat, terus menerus ingat rasa sakit yang aku alami. Bisa jadi sepanjang hari aku akan menangis, sepanjang hari aku mengalami depresi atau jadi manic disorder, atau hippomanic atau gangguan mood lainnya. Waahh,, hidup ini begitu menyakitkan sepertinya! Tapi Allah menganugerahkan lupa, dan beban itu perlahan menghilang. Alhamdulillah..


Saat kita mencoba memaafkan kesalahan orang lain pada kita, lalu Allah pun menghadiahi LUPA pada kita, maka ini patut kita syukuri kan? bukankah beban itu jadi berkurang, perasaan menjadi lega, dan hidup dengan bahagia. Karena bahagia terletak pada perilaku BERSYUKUR yang kita miliki. Begitukah? :)

Selasa, 23 November 2010

mata kuliah keren

mata kuliah yang paling asik semester ini:

PEDOLOGI

MODIFIKASI TINGKAH LAKU

PSIKOLOGI KOGNITIF

semangkA!!biggrin

Minggu, 21 November 2010

Anak itu nakal banget sih!



Pernah mendengar orang bilang kayak judul diatas? Atau pernah dengar orangtua ngomong gini:
“ini anak susah diatur banget, bisa diem gak kamu?!”
Atau
“ayo, masa ngerjain segitu PR segitu aja gak bisa, kalo maen aja gak ada yang ngalahin nakalnya kamu”

Yupz, tak jarang kalimat tersebut meluncur dari mulut seorang ibu/ayah/orang yang lebih tua dari anak. Taukah kita tanpa disadari saat lingkungan (orangtua, keluarga, ataupun orang lain) mengatakan bahwa “kamu nakal” maka secara tidak langsung itu akan terinternalisasi kedalam diri anak. Dalam otak anak itu seolah-olah terngiang “ooh iya, aku nakal”
Ingat GAK ADA ISTILAH NAKAL PADA ANAK!

Oke, kalo ternyata anak itu lebih “aktif” dibanding anak-anak yang lainnya. Coba telusuri dulu, kalo istilah aa gym, instropeksi diri dulu lah.

Apa kita jarang memperhatikan anak? Jarang mendengarkan dia?
Apa kita suka marahin anak tanpa anak tau kesalahan dia?
Apa pernah kita melarang sesuatu terhadap dia tanpa diberi tahu alternative tindakan yang harus dia lakukan?
Apa kita sering menggunakan “bahasa orang dewasa” ketika berbicara pada anak?
Apa emang dari awal kita udah men-cap bahwa anak itu nakal?


Jika “ya” mungkin anak itu tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan apa yang dia inginkan. Cara yang dia tahu adalah dengan berbuat lebih “aktif”. Saat anak melakukan suatu hal yang dianggap suatu kesalahan, maka beritahu bahwa itu salah dengan bahasanya lalu beri alternative tindakan yang harus dia lakukan. tidak harus dengan ngomel panjang lebar

Contoh kasus:
Suatu hari anak bermain diruang tamu, dia berlari-lari, loncat-loncat hingga ruangannya agak berantakan. Padahal sebentar lagi akan ada tamu yang datang.

Scene1
Orangtua: “kamu itu ya, jangan lari-lari diruang tamu, ruang tamunya jadi kotor, jadi berantakan, nanti kalo ada tetangga gimana, sebentar lagi ada tamu yang mau kesini, liat mejanya jadi penuh sama mainan kamu, vas bunganya jatoh, terus bla bla bla bla bla”
anak: “mamah ngomong apa sih?” (glek -_-‘)
Ya iyalah anak mana ngerti dikasih omelan kayak gitu, yang ada mah pusing ngedengerin ocehan sepanjang itu. Kita aja kalo lagi kuliah suka gak inget apa yang disampaikan sama dosen, hihi.

Scene 2
Orangtua: “de, mainnya diruang tengah aja yuk. Supaya ruang tamunya gak berantakan, ya?”
Tunggu respon si anak, lalu jelaskan sedikit demi sedikit mengapa jangan bermain di ruangan itu.
Dan hindari kata “jangan” karena justru otak anak akan menyingkirkan kata-kata “jangan/tidak”. Misalnya “jangan lari!” justru yang diingat Cuma “lari!”. Pilih kata yang baik untuk mengganti kata “jangan/tidak”.

Pernah ada kasus anak yang lebih “aktif” dibanding teman-temannya. Lalu datang psikolog
Dan si guru ini ngomong:
“ini lho bu anak nya, anak ini nakal banget kalo di sekolah, suka gangguin temen-temennya” sambil anaknya dipegang dan dihadapkan ke psikolognya.

aaarrggg, pengen nyumpal tuh mulut gurunya! aduh tolong ya gak usah bilang gitu depan anak! Belum pernah ngerasain di timpuk sama buku DSM-IV apa?! *kesel mode: ON*


Coba bayangin, anak yang mungkin emang dia lebih aktif, tapi dibikin lebih jatoh di depan orang lain dan yang berbicara adalah gurunya sendiri. Secara postur tubuh guru itu lebih besar dan lebih tinggi dari anak, kebayang donk bagi anak, orang yang lebih tua adalah sosok yang punya “kekuasaan”, cara melihatnya pun pasti dia harus menengadah ke atas. Selain itu yang dikatakan adalah sisi-sisi negatifnya. Hal itu secara psikologis bisa membuat self-esteem anak jadi turun. anak itu akan bingung, rasakan perasaannya!

Ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi saat anak di cap “nakal” oleh lingkungannya, yaitu anak akan menarik diri dari lingkungan atau justru menjadi seorang seperti yang dikatakan oleh lingkungan. See?!

Anak itu amanah dari Allah, maka jagalah dia.
Anak itu bisa membuat kita bahagia maka bahagiakan juga dia
Anak itu bisa menyelamatkan kita di akhirat dengan kesholehannya maka didiklah dia
Dan anak itu seorang manusia yang mempunyai hati dan akal, maka berbicaralah dengan lembut. Sayangi dia, hangatkan dia dengan sinar keimanan dan ketakwaan dari indahnya Islam. Wallahu ‘alam.

Cibiru, 21 November 2010 – 21:13

Minggu, 14 November 2010

pengen ke jogjaaaaa!!


















sedih...gak bisa ngapa2in, gak bisa ngebantu... huhu

Jumat, 12 November 2010

Tarbiyah Dalam Seorang Vera

Bismillah

Dulu, sering terlintas dalam benakku, mengapa aku berada dalam jama’ah ini? mengapa aku berada dalam lingkungan tarbiyah? mengapa aku bertahan dengan berbagai konsepnya? Sering pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul dan tak jarang membuat aku futur/ nge-drop. Latar belakang keluargaku bukan orang pesantren, bukan orang yang sangat paham agama, dan bukan juga keturunan kiai. Keluargaku hanya keluarga kecil yang berusaha mencari dan menjalankan ideology islam dengan semaksimal mungkin.

Hal yang sangat aku syukuri diantara begitu banyak nikmat-Nya adalah dipertemukan dengan jama’ah tarbiyah. Waktu SMA kelas 1 aku masuk ekstrakulikuler rohis/DKM sebagai pilihan ekstrakulikuler lain selain Pramuka dan KIR (kelompok Ilmiah Remaja). Terus terang waktu itu tujuanku agak gimanaa gitu.. yaa.. Cuma mem-backup sisi religiusku dan juga skill organisasiku. Dan disini aku bersyukur, saat itu keluargaku, selalu men-support untuk terus aktif di rohis.

Masa Orientasi Siswa
Sudah menjadi tradisi di SMAN 2 Cianjur (SMANDA) pada hari terakhir MOS selalu diadakan demonstrasi seluruh ekstrakulikuler. Saat demonstrasi ekskul rohis, ada akang yang ganteng, haha.. (maklum dulu akunya juga masih ‘lucu’). Wess.. langsung deh si akang itu jadi kecengan siswi-siswi waktu itu. Apalagi dia anak rohis, “pasti” sholeh. Tambah kuatlah keinginanku masuk rohis.. niat polosku masuk rohis ternyata sedikit ternodai dengan motivator tambahan: si akang ganteng! T.T

Mentoring
Tibalah waktu menjalani agenda khas dari kumpulan keislaman, yaitu mentoring, setelah sebelumnya ada kumpulan-kumpulan terlebih dahulu (perkenalan). Disini yang sangat aku syukuri yaitu aku ditempatkan dikelompok yang pementornya adalah salah satu kader tarbiyah terbaik di Cianjur yang juga alumni SMANDA. Karena belakangan aku ketahui bahwa pementor (yang semuanya Alumni smanda) tidak dari 1 warna keislaman. Lagi-lagi ini adalah settingan Allah melalui tangan seorang manusia.

Proses mentoring ini yang menjadi bekal menjalani kehidupan SMA-ku, masa remaja yang labil, masa storm and stress, egois, narsis, dll. Dari sini pula aku belajar berbusana yang baik, sedikit demi sedikit mengaplikasikan perilaku islam, ilmu agama yang terus di-update, teman-teman yang selalu mengingatkan, dan disini juga aku baru tau kalo gak boleh pacaran!! Oalaaahhh..! (-_-?)

LIQO
Saat kelas 3, adalah saatnya melepaskan kepengurusan untuk dilanjutkan oleh generasi terbaik bangsa. Katanya kita mah harus fokus ke Ujian Nasional. Dan Allah memberikan pemanis diakhir kepengurusanku: sahabat sekaligus saudara yang solid “panitia 8”, karena kelas 3 yang aktif sampai akhir memang tersisa hanya 8 orang. Lalu kegiatan ngaji anak-anak kelas 3 yang tersisa itu dialihkan di luar sekolah dan juga dengan pementor yang berbeda. Yang kemudian aku ketahui, ini namanya LIQO, :D. kelompokku terbilang kelompok mini, hanya 4 orang termasuk si tetehnya.

Disini mulai aku mengenal tarbiyah, tapi jujur, aku tak mengenal partai yang berbasic tarbiyah. Karena si tetehnya sendiri tak pernah membahas mengenai kepartaian (apa aku yang gak merhatiin ya? :D) dan tidak juga menyuruhku mengikuti agenda partai. Yang pasti aku merasa enjoy, merasa tertarik pada satu ajaran islam yang ditawarkan memalui konsep tarbiyah. Tak ada beban apapun, senang, tenang dan banyak chemistry-nya. Waktu kelas 3 itu, yang paling ditanamkan ada bagaimana menjadi seseorang yang mengenal Allah dan selalu bergantung pada Allah, serta berusaha untuk mendapatkan ridho-Nya. Disini juga aku benar-benar mencintai Islam, mencintai ajaran islam dan tentu saja mencintai Allah.

KULIAH
Aku bersyukur karena waktu masuk ke UIN, ada seorang teteh yang menawarkan untuk mengikuti bimbingan tes masuk UIN. Teteh itu dari hima PUI. Aku dan orangtuaku langsung setuju, secara kasat mata bagus kan bimtesnya dari warna islam. Dan ini hal yang benar-benar aku syukuri, coba kalo ada oraganisasi X, Y ato Z yang juga berwarna islam tapi islam nyeleneh, kan gawaaatt!!! Bersyukur, bener-bener bersyukur di pertemukan kembali dengan tarbiyah. Walaupun aku belum dilepas sepenuhnya sama si teteh (murobbi) ku yang di Cianjur a.k.a masih dalam penjagaan.

Dunia Pasti Berputar
Fase fluktuatif “ke-tarbiyah-an”ku adalah masa kuliah ini. Males liqo lah, banyak protes, bolos agenda, jadi kader yang bandel, gak mau ikut mabit dan kenakalan-kenakalan lainnya. Sempat muncul kekecewaan terhadap saudara-saudara/ sesama kader, sempet merasa bosan berada di jama’ah, dan selalu mempertanyakan seberapa penting hidup dalam jama’ah. Fase ini cukup lama aku lewati, namun satu hal yang aku pegang adalah jangan menjauh dari titik pusat.

Terus terang aku sedikit shock saat mengenal dunia tarbiyah di kampus. Berbagai aturan, berbagai keharusan, berbagai larangan, dan berbagai sistem harus aku jalani. Mulai dari hijab yang super ketat, aturan khusus untuk akhwat, kegiatan yang harus n yang gak boleh, dan banyak lainnya aku temui di kampus. Seperti biasa, semua aturan yang tak aku pahami jarang aku ikuti. Aku ingin bergerak dengan apa yang aku pahami, tidak membeo, tidak mengekor, tidak seperti robot. karena dari tarbiyah sendiri aku belajar “pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah masing-masing”.

Memaknai dengan Hikmah
Tak mungkin aku terus-terusan hidup dalam “kebandelan”ku. Akan timbul sikap oposisi yang lekat dengan kecemasan. Mencoba merenungi sejenak perjalananku dalam tarbiyah. Aaahhh,, ternyata banyak yang terlewatkan!

Apa aku lupa dengan jasa tarbiyah dalam mengenalkanku pada keislaman?
Apa aku lupa bahwa tarbiyah telah mengajakku mendekat pada Allah?
Lupakah aku saat tarbiyah memotivasiku untuk selalu mendapatkan ridho Allah?
Tarbiyah yang menjagaku dari terkaman ideology lain
Tarbiyah juga yang membantuku dalam misi yang diberikan Allah pada seluruh manusia “khalifah fil ardi”.
Tarbiyah yang memberiku saudara-saudara yang selalu mencintaiku..


Dan banyak hal yang tak bisa aku ungkapkan semuanya disini.

Begitu banyak yang terlewatkan, dalam artian melewatkan berbagai hikmah, melewatkan berbagai isi dari apa yang aku dapatkan. Contoh kecil adalah ketika harus menjaga hijab dengan lawan jenis yang super ketat. Apa konsep ini salah? TIDAK! Menjaga hijab adalah menjaga izzah kita, menjaga dari fitnah, dan menjaga dari bisikan syetan sebagai pihak ketiga :D. Lalu apa harus kaku? Hee..Lawan jenis itu bukan alien yang harus dijauhi, berinteraksi secara wajar sah-sah aja kan??

Contoh kecil lain saat sodara-sodara yang lain kerap menggunakan “antum-ana”, bukan berarti hal yang harus di lakukan juga kan? Gue-elu, aku-kamu, saya-anda, tak menjadi masalah, selama sesuai norma. Atau mengenai keidentikan akhwat dengan jilbab yang sangat panjang, intinya kan bukan jilbab yang panjang, tapi konsep menutup aurat yang sesuai dengan syariat yang ditekankannya.

Ada yang tsawabit ada yang mutagoirat alias ada yang menjadi prinsip yang sudah menjadi ketetapan ada juga yang dinamis. Yep! Temukan polanya!

Memaknai dengan hikmah membuatku tak menganggap tarbiyah sebagai doktrin yang kaku dan seolah-olah memperlakukan kadernya seperti robot. Tidak seperti itu! aku pikir tarbiyah adalah salah satu pilihan jalan hidup yang bisa diambil oleh setiap orang ataupun diabaikan oleh semua orang. Bagiku tarbiyah adalah wadah yang mengusung kemenangan Islam. Bereksplorasi didalamnya, munculkan dan aplikasikan!

Saat ini setelah keluargaku, aku anggap tarbiyah adalah rumah kedua. Yang melindungiku dan juga aku bergerak bersama arus didalamnya untuk tujuan yang insyaAllah, diridhoi-Nya.

Apa aku berusaha jadi kader yang baik dan benar? Aku harap begitu. Namun, tak ada sesuatu yang sempurna, padahal disisi lain manusia dituntut untuk lebih baik dari hari ke hari. Aku masih terus berusaha menjalani sesuatu dengan kesadaran. So, jadi kader yang “bandel” dikit gpp kan?? :D


Cibiru, 4 November 2010 – 22:46
(11 jam 24 menit menuju UTS Metodologi Penelitian II)

Kamis, 04 November 2010

menjemput hikmah

apa ya hikmahnya Allah menciptakan organ indera di kepala yang berdekatan dengan otak? kecuali untuk indera peraba yang Allah sebar keseluruh tubuh.
pasti selalu ada hikmah, tapi apa??

*oleh2 kuliah kognitif
ayo berfikir mengenai berfikir!

30 Agustus tahun lalu...

Pada tanggal 30 Agustus tahun lalu, kamwil Jabar mengadakan sebuah halaqoh gerakan bertemakan “ngaji, diskusi, dan aksi”. Lalu akhir-akhir ini tema tersebut ‘resound in my head’. Ntahlah.. mungkin hanya sekedar mengenang sebuah agenda, aku pikir begitu saat itu. awal semester ganjil ini, ide “ngaji, diskusi, aksi” semakin membuat aku ‘terinspirasi’ untuk melakukannya secara masif.

Aku yakin, saat ada HG tahun lalu, tema tersebut tak semata-mata tema ‘untuk satu hari-eun’, tapi juga bagaimana kader-kader kammi menjadikan ‘ngaji, diskusi, aksi’ sebagai rutinitas yang dinamis. Rutinitas dalam artian dilakukan secara kontinu, tidak terputus dan menjadi agenda ‘wajib’. Dinamis yaitu dari segi konten ataupun teknis yang selalu berubah, berkembang, dan juga progresif.

Ide ‘ngaji, diskusi, aksi’ sangat sering dilekatkan dalam setiap syuro dan agenda, sebagai sesuatu yang harus menjadi perilaku seorang kader. Tapiiii??? Ya… hanya melekat dalam syuro dan agenda. sayangnya “ngaji, diskusi, dan aksi” itu sendiri di KOMSAT UIN belum menjadi agenda. Hayooo, gimana mau jadi perilaku kader kalo kita kurang memasifkannya? Hee..

Tapi, Alhamdulillah, kemaren-kemaren ada “relawan” yang mau ngisi HaGe, dan ini aku harap dan aku yakin menjadi langkah awal untuk mengembalikan karakter kader yang suka ngaji, suka diskusi n suka aksi. SemangkA!!

Vera Permatasari Mulyadi
Anggota Biasa Banget KAMMI UIN

Namanya juga cita-cita..



Waktu abis lulus SMA n sebelum kuliah, kk aku sempet nanya, “lebih mementingkan jurusan atau universitasnya?” coz, katanya ada beberapa orang yang targetannya yang penting kuliah di universitas A apapun jurusannya, tapi ada juga orang yang mementingkan jurusannya apapun universitasnya. Waktu itu aku jawab yang penting jurusannya. Setelah aku perhatikan target aku tuh masuk psikologi XXX dan psikologi XXX, dan setelah mengambil IPC aku memutuskan menambah pilihan dengan psikologi XXX. Tiga-tiganya psikologi! Belum lagi aku daftar di 2 universitas swasta dengan pilihan PSIKOLOGI. Yupz, malahan di salah satu univ. swasta itu udah sempet ikutan pra ospek segala, haha.

Ini merupakan pilihanku, Allah maha membolak balikkan hati. Siapa sangka dulunya aku bercita-cita ngambil ekonomi atau kedokteran, tiba-tiba pengen jadi psikolog pas kelas 2 naik ke kelas 3. Dan keinginan itu begitu kuat. Ternyata Allah memudahkan. Aku inget salah satu dosenku pernah bilang “Allah memudahkan seseorang untuk apa dia diciptakan”. Semoga psikologi ini memang menjadi jalanku yang sesalu mendapat kemudahan dari-Nya.

Jujur, waktu awal-awal aku sempet shock juga kuliah di UIN, coz kesannya penuh sama anak pesantren n madrasah Aliyah, sedangkan aku lulusan SMA, serasa nyasar. Belum lagi kualitas psikologi UIN dibandingkan dengan univ-univ yang terkenal masih kalah. Tapi aku percaya kuliah/ belajar di kelas itu hanya menunjang beberapa persen dari kualitas kita. Sisanya harus kita sendiri yang mencari. Dari sini aku pikir langkah pertama adalah menguasai bahasa inggris, coz kebanyakan textbook psikologi dari luar pake bahasa inggris.

Awalnya mau kursus aja, tapi kuliah di UIN agak nyantei (menurut aku waktu semester 1 n 2, dibandingin ma sekolah SMA dulu). Iseng-iseng aja bilang ke si ibu pengen kuliah 2, eehh tiba-tiba langsung bilang boleh. Padahal gak terlalu mengharapkan jawaban itu juga sih. Abis itu gak pernah ngebahas lagi masalah kuliah 2, malahan aku jadi agak ragu. Ngapain ya kuliah 2 kayak gitu. targetan aku yang penting bisa bahasa inggris, gimana pun jalannya.

Setelah berbagai proses yang gak perlu di certain disini, akhirnya aku ngambil kuliah pendidikan bahasa inggris (PBI) di UIN. Keputusan ini aku ambil semester 4. Mungkin karena jika mengambil kursus jaraknya terlalu jauh, nambah lagi ongkos, ngabisin waktu n tenaga. Kalo di UIN kan masih satu kampus jadi gampang bolak-baliknya. Trus kalo kursus kayaknya terlalu lemah dorongan buat rajinnya, hehe. n’ kalo kuliah bakalan sering dipake bahasanya.

Yupz, semua ngedukung apalagi orangtua. Padahal satu sisi, pengen banget ada yang bilang “gak usah kuliah, kursus aja. Ntar terlalu sibuk, terlalu cape” hiks.. ngarep banget ya! Dari sini justru aku jadi termotivasi buat cari kesibukan lagi, supaya gak terlalu banyak mikirin yang nggak-nggak, hehe. supaya beberapa pikiranku yang semester2 lalu bisa sedikit teralihkan.

Aku lulus di PBI. Orangtua kayaknya seneeeng banget mereka bilang “terserah mau lulusnya kapan, dahuluin psikologi dulu aja”. Yupz, pasti. Aku sendiri dibawa nyantei aja sih. Selain pengen bisa b.inggris, niatnya yang paling besar juga tuh nyenengin orangtua. Pengennya diberesin kuliahnya, tapi gak tau ya kalo tiba-tiba sebelum lulus kuliah PBI aku nikah sama pangeran berkuda putih trus ngelarang nerusin kuliah di PBI. Kecuali untuk kuliah di magister profesi psikologi, ini mah aku bakal perjuangin, hehe.

Yaah.. sebenernya aku bercita-cita pengen jadi ibu rumah tangga aja sih. Kebayang deh ngurus anak yang lucu-lucu, ngurus suami n ngurus rumah kayaknya asik. Pagi-pagi nyiapin keperluan semuanya, didepan rumah ngelepas suami n anak buat kerja n sekolah, ngejagain anak yang masih balita, masak, nemenin anak yang udah sekolah ngerjain PR nya, mandiin anak, nyuapin dia, sorenya menyambut suami pulang kerja, trus makan malem bareng, ngaji bareng, trus …waaaaaaaaaaa!!!! Stop stop stop!! Cukup vey! Ngayalnya dalam pikiran aja. Realisasinya ntar aja ya ^_^. Tapi gak jadi ibu rumah tangga dengan pendidikan yang serba minimalis juga sih. Jadi ibu rumah tangga yang berprofesi psikolog, keren kan? Hehehehehe…

Manusia hanya bisa berencana, Allah juga yang menentukan..Wallahua’lam
Yang penting ridho Allah..^_^