Jumat, 21 Oktober 2011

Ruang-ruang Oase

“Psikolog iya, S2 sudah, malah sekarang sedang menyusun disertasi untuk S3 nya, tapi mengapa memilih hanya menjadi dosen?” sempat terlintas dalam benak saya pertanyaan seperti itu saat sedang diajar oleh salah satu dosen *ketahuan vey, kamu gak merhatiin materi yah*. Karena dengan jenjang akademik yang beliau miliki, seharusnya beliau bisa sukses berkarir di perusahaan yang besar. Dengan gaji puluhan juta mungkin? Bisa saja kan? Waktu itu saya berpikir mengenai idealisme, mungkin beliau memang ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya, dengan memilih menjadi dosen yang bisa membantu para mahasiswanya. Beberapa waktu kebelakang, saya dapat bocoran dari seorang sahabat ketika dia mewawancarai dosen tersebut dengan menanyakan hal yang sama, dan jawabannya adalah “kalau saya mengejar uang, saya tidak akan menjadi dosen”. Absolutely right!

Kemarin juga teman saya bilang, dia ingin bekerja di daerah saja, tidak perlu gaji besar yang penting cukup dan bisa berbagi untuk orang lain. Padahal saat ini dia bekerja di sebuah stasiun TV swasta yang terkenal dan pekerjaannya sesuai dengan bidang yang dia ambil saat kuliah. Mengapa memilih untuk resign? Dan dia menjawab, “waktu sholat sempit dan terburu-buru, karena semakin banyak kerjaan yang tidak bisa ditinggal”. Subhanallah.. :)

Lucu, kita gencar mencari uang untuk hidup, membeli pakaian, makanan, rumah, bersekolah. Lalu sekolah untuk mencari pekerjaan agar mendapat uang dan kembali uang itu dipakai untuk hidup. Makan untuk hidup, hidup untuk bekerja, bekerja untuk makan. Aah, sebuah lingkaran yang tak ada habisnya :D

Maka ada ruang-ruang yang menjadi tempat singgah, saat rutinitas yang penat itu membayang-bayangi kita. Maka ada satu oase saat seluruh aktivitas itu menyita waktu kita. Maka ada suatu gemercik air untuk membasuh keletihan menjalani roda kehidupan. Dan itu sebuah pilihan untuk diambil atau tidak. Bebas, untuk dipilih.

Dulu saya bertekad, harus kaya agar bisa bersedekah lebih banyak. Tapi ternyata memang harus saya perbaharui tekad tersebut, jika saya kaya hanya ingin banyak bersedekah lantas saya tetap jauh dari Allah, mengapa saya harus memilih itu. Lebih baik seimbang saja ya, bekerja dengan niat beribadah dan memberi manfaat bagi orang lain, tapi ada ruang khusus untuk saya bercengkrama dengan Allah. Karena waktu tetaplah 24 jam, tak bisa ditambah menjadi 30 jam agar 6 jam tambahannya bisa dipakai ibadah. Tetap tidak bisa kan yah? :D

Seperti hikmah yang diambil dari dosen dan teman saya itu, tak perlu lah memilih pekerjaan itu jika hanya menyita seluruh waktu , tenaga dan pikiran saya. Tak perlu lah memilih pekerjaan itu jika tak bisa focus pada keluarga. Tak perlu juga memilih pekerjaan yang membuat saya lalai dalam beribadah. Maka jika nanti saya tak menjadi ibu rumah tangga yang full time, lebih baik saya mencari pekerjaan yang bisa lebih mendekatkan diri pada Allah. Lebih mencintai Allah daripada mencintai dunia. Lebih merindukan hidup bersama disurgaNya kelak, daripada hidup dalam fatamorgana dunia. Iya kan? :D

“tak perlu gaji besar, asal cukup dan bisa berbagi….”

Kalau bisa bergaji besar, bisa berbagi dan tetap dekat dengan Allah gimana? Ya, bersyukur juga :)

Cianjur, 16 Oktober 2011 – 22:26

Senin, 10 Oktober 2011

La Tahzan, Innallaha Ma’ana..

Waktu terus berjalan tak pernah berhenti, bulan mengeliling bumi dan bumi mengelilingi matahari. Begitu terus mereka bertasbih kepada Allah. Ada siang yang selalu pasti ada malam, terkadang hujan dan terkadang kemarau, semuanya silih berganti. Begitupun dengan hidup ini, bagai roda yang terus berputar. Terkadang kita ada diatas, tapi suatu waktu kita bisa ada dibawah. Begitu kan yah?

Entah berapa sering ketika hidup saya berada di bawah, saya menjadi lupa bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah. Iya, oleh karena itu saya harus pintar-pintar mengolah semuanya agar yang saya rasakan saya serahkan kembali kepada Allah.

Bahwa disetiap kesempitan hidup yang dirasakan, cukup Allah yang menjadi sandaran, cukup Allah yang akan menolong saya. Karena bagaimanapun Allah lah Yang Maha Penolong, Allah lah Yang bisa membolak balikkan hati saya untuk bangkit atau terus terpuruk.

Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang..
Benar, hanya dengan mengingat Allah Sang Pemilik hati, maka hati ini menjadi tenang. Saat rasa sakit terasa, saat air mata meleleh saat itu pula Allah menarik kita agar lebih dekat padaNya. Karena mungkin saja kita telah terlampau jauh dari Allah. Maka dengan berdzikir ketenangan hati bisa dirasakan. Kalau kata sahabat saya untuk sekarang gak apa apa nangis, tapi jangan keterusan yaa. Memang begitu, apa dengan menangis masalah jadi selesai? kan nggak kan yah? Hati pun belum tentu menjadi tenang. Tapi air mata nya gak bisa dibendung, iya makanya sambil berdzikir aja. Lagi pula Allah telah berjanji, tidak akan memberi ujian diluar batas kemampuan manusia. Dan saya percaya sama janji Allah.

Guru ngaji saya juga pernah mengingatkan satu hal ”mintalah pertolongan dengan sabar dan sholat” karena hakikatnya man purpose Allah dispose, manusia hanya merencanakan Allah yang menentukan, tapi dibalik ketentuan Allah pasti ada hal yang lebih indah. Kan Allah tahu apa yang dibutuhkan hambaNya yah? Dan itu pasti yang terbaik untuk kita.

Kalau dunia serasa menghimpit atau seakan-akan mau runtuh, yakin lah bahwa Allah selalu bersama kita. Asal kita nya mau aja dekat dengan Allah. Kan kalau kita berjalan mendekati Allah, maka Allah berlari mendekati kita. Kurang apa coba?

Jadi, jangan bersedih, sesungguhnya Allah selalu bersama saya :)

Cibiru, 4 Oktober 2011 – 20:06

Selasa, 04 Oktober 2011

aku gak ngerti

kondisiku masih sama..
padahal udah 24jam lebih setelah aku tahu kabarnya..
baru kali ini seperti ini..
sakit..
sangat sakit...