Jumat, 08 Januari 2010

Resensi Film Perempuan Berkalung Sorban*

Sutradara : Hanung Bramantyo
Watak Tokoh
Annissa : Rasa ingin tahunya tinggi, pemberontak, kritis
Khudori : Penyayang, sabar
Abi/ayah : Sangat menjaga kehormatan, kolot
Ummi/ibu : Penyabar, penurut
Syamsudin : pemarah, tidak tahu malu, pendengki

Sinopsis Cerita
Annissa yang menjadi tokoh utama dalam film ini berlatar belakang keluarga pesantren. Ayahnya (abi) adalah pemilik pesantren tersebut yang sangat disegani oleh masyarakat sekitar situ. Annissa memilki dua orang kakak laki-laki bernama Wildan dan Reza yang selalu di anak emaskan oleh ayahnya dengan alasan karena mereka laki-laki. Sedangkan Annissa sendiri sering dilarang ini itu olehnya karena dia perempuan. Tidak puas akan hal itu menjadikan Annissa kecil kerap menjadi seorang yang pemberontak ataupun kritis. Ini menyebabkan dia sering bertengkar dengan ayahnya.

Satu-satunya teman sebaya yang selalu memperhatikannya adalah Khudori. Hanya pada Khudori Annissa bisa terbuka dan hanya Khidosri pula yang mengerti keinginan Annissa. Namun mereka harus berpisah karena Khudori harus menempuh pendidikannya di Mesir. Pembrontakan Annissa semakin terlihat ketika dia lulus sekolah SMA dan diterima di perguruan tinggi Yogyakarta dia ingin melanjutkan kuliah namun ayahnya dengan tegas menolak dan menikahkan dia pada seorang laki-laki anak pemilik pesantren juga. Padahal kakak-kakaknya dibiayai kuliah sampai ke Madinah, sedangkan Annissa ke Yogyakarta saja tidak boleh. Alasannya masih sama yaitu karena dia perempuan dan dalam film tersebut disebutkan bahwa Islam mengajrkan wanita tidak boleh berpergian kecuali dengan mahromnya dan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi, ini merupakan bentuk ketidakadilan bagi Annissa

Karena Khudori yang Annissa tunggu-tunggu tidak member kabar, akhirnya Annissa pun terpaksa menikah dengan Syamsudin. Hal itu merupan awal neraka bagi Annisa. Suaminya,memiliki tingkah yang sewenang-wenang membuat Annissa semakin menderita. Hingga pada suatu hari ada seorang perempuan datang ke rumah Annisa dan mengatakan bahwa dia adalah perempuan yang dihamili oleh Syamsudin. Akhirnya Syamsudin berpoligami dan ketika ada kumpulan keluarga untuk membahas itu, Annisa melontarkan keinginannya untuk bercerai. Belum apa-apa hal itu sudah sangat dianggap suatu dosa perempuan. Bahwa perempuan tidak boleh mengajukan cerai pada suaminya dalam ajaran Islam.

Sampai tibalah kepulangan Khudori ke pesantren. Annissa memang marah padanya karena Khudori meninggalkan Annissa begitu saja. Anniss Sudah kehilangan kesabaran sampai akhirnya ketika mereka berbicara berdua, Annissa meminta agar Khudori menzinahi dia. Namun Khudori menolak dan pada saat yang bersamaan datang Syamsudin dan memfitnah mereka berbuat zina. Mereka dihukum rajam, namun umminya Annisa melerai dan memberi tahu bahwa di Islam yang berhak merajam adalah orang yang tidak punya dosa. Akhirnya semua menolak untuk merajam. Dan pada saat itu pula ayahnya Annisa meninggal karena serangan jantung.

Hal itu merupakan kebebasan bagi Annissa serta member dia kesempatan untuk kuliah di Yogyakarta. Khudori menemui Annissa untuk mengajaknya menikah. Bukan untuk membiarkan wanita berada dalam kungkungan laki-laki, namun untuk memenuhi kebutuhan akan mencintai lelaki. Mereka menikah, dan Annissa hidup dalam kerukunan dan saling mengerti, walaupun Annissa masih mempunyai trauma pada Syamsudin dalam berumah tanggga. Annissa pun bekerja di LSM woman crisis centre. Khudori benar-benar sosok suami sholeh yang sabar dan mengerti istrinya. Mereka sempat menjenguk keluarga Annisa di pesantren yang sekarang dipimpin oleh kakaknnya. Dia menemukan beberapa santri yang sedang bolos, dan ingat akan dirinya yang dulu. Lalu dia berbagi tentang dunia luar yang bisa dirasakan lewat buku. Salah satunya kebebasan wanita. Santri-santri itu menjadi tertarik dengan buku-buku yang dibawa Annisa. Sampai buku itu menyebar dan jadi paradigm baru bagi santri. Walaupun secara sembunyi-sembunyi karena pesantren masih menganut aliran kuno.

Sampai ketika mereka mempunyai anak, mereka memutuskan untuk tinggal di pesantren dan meneruskan perjuangannya untuk menyebarkan ajaran pembaruan bagi pesantren yang didapat dari buku-bukunya, seperti dari karya Pramudya Ananta Toer (tokoh kiri). Namun ada kakaknya masih saja kolot sehingga Annisa benar-benar sulit.membuat sekedar perpustakaan buku-buku itu. Apalagi dengan kehadiran Syamsudin yang menagih hutang atas perbaikan pesantren.

Bencana besar bagi Annissa ketika suaminya sedang pergi dan dalam perjalanan dia terjatuh dari motornya lalu ada orang yang menabraknya secara sengaja dan orang itu adalah Syamsudin. Annissa merasa terpukul dan memutuskan kembali ke Yogyakarta namun tetap mengirikan buku-buku pada santri. Hingga santri ketahuan membaca buku itu, dan semua buku yang terazia dibakar. Lalu ada santri yang kabur ke Yogyakarta dan bertemu dengan Annissa. Dari situ Annissa memutuskan untuk berjuang kembali di pesantren.

Hingga suatu ketika, kakaknya sedang berbincang dengan Syamsudin dan Syamsudin melecehkan Annissa, kakaknya geram dan mngusir Syamsudin. Hal ini menjadi titik balik bagi pesantren karena dari hal ini kakaknya yang memimpin pesantren bisa menerima ajaran baru dari buku dan menjadikan pesantren yang modern. Dan di akhir cerita dia berkuda kembali (kegiatan yang sangat dilarang ayahnya) awalnya dia mengenakan sorban, namun sorban itu dia lepas. Sebagai tanda kebebasan.

Kelebihan Film:
Artistik yang sangat bagus membuat film ini seakan-akan nyata saat ini sedang terjadi di tahun 80-90an. Mulai dari suasana pesantren dan kotanya dibuat sedemikian rupa hingga benar-benar mirip dengan suasana pesantren, dari mulai kegiatannya, lingkungannya, dll.

Kekurangan Film:
Terlalu mendiskreditkan pesantren dan terlalu memfokuskan pada ajaran Pramudya Ananta Toer/ aliran kiri. Padahal bisa saja pesantren yang ortodok seperti itu di modernkan/ menjadi moderat tidak hanya dengan ajaran itu, namun ada beberapa alternatif lain yang bisa diambil.

Tanggapan terhadap Film:
Film ini sebenarnya mengangkat suatu cerita yang bisa jadi ada pada kehidupan saat itu ataupun dimasa tahun 80an, yaitu pesantren yang ortodok. Apa yang ditekankan di film tersebut yang diceritakan bahwa itu adalah ajaran Islam tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Namun letak kesalahan dalam film tersebut menurut saya adalah, dimana ketika satu ajaran Islam ditekankan, film ini justru melebih-lebihkan ajaran tersebut dengan menjadikannya absolut. Misalnya, wanita tidak boleh keluar tanpa ditemani mahromnya (suaminya). Ajaran ini benar, karena dikhwatirkan terancamnya keamanan si wanita tersebut. Namun bukan berarti sama sekali tidak boleh selama keamanannya masih bisa terjaga.

Contoh lain adalah ketika wanita dilarang sekolah tinggi-tinggi karena toh yang akan menjadi imam/pemimpin adalah laki-laki. Benar, yang menjadi imam adalah laki-laki, namun ajaran untuk menuntut ilmu adalah kewajiban semua orang.
Apa yang disampaikan seolah-olah benar, namun terlihat menjadi salah, dan proses pengabu-abuan ini menjadikan film ini jika akan ditonton harus ditonton secara KRITIS. Tidak ditelan bulat-bulat, Bukan berarti wanita harus sejajar dengan laki-laki, karena masing-masing memiliki peranan yang berbeda yang satu sama lain saling melengkapi. Dan bukan berarti pula ketika hal yang ortodok harus di moderatkan 100% dengan ajaran/ aliran tertentu.

*tugas psi.kepribadian 2 awal semester 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar